expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>
Free counters!

Translate

Selasa, 24 Februari 2015

Senja Yang Sempurna (Cerpen Cinta)

“lihatlah, kocak sekali bukan? Ya Tuhan aku benar-benar sakit perut melihat tontonan itu… hei… kau benar tidak mendengarku ya? Lihatlah dulu…”
Marisa membuat kompilasi suara yang tidak harmonis sama sekali. Tertawa geli sambil merepet dengan nada tinggi dengan diselingi kunyahan keripik yang riuh.

Sergio frustasi dengan kameranya. Sunset di hadapannya benar-benar indah, namun sudah beberapa kali ia mencari angle yang pas di balkon apartemennya, tidak satu pun hasil yang memuaskan hatinya. Pikirannya semakin kacau dengan aksi kekasihnya yang terpingkal-pingkal menonton opera sabun.
“diamlah, nonton saja… kau tidak tahu sulitnya pekerjaanku…” ucapnya. Sedikit membentak.
Marisa mengibaskan tanganya. Ia terus saja mengunyah keripik sambil menyelonjorkan kaki di meja kopi. Sedikit mendorongnya untuk menyesuaikan dengan tungkainya yang panjang. Apartemen itu sempit, hanya sebuah studio kecil dengan ruang gerak yang terbatas.
“Ahhh…” sergio menjerit ketika betisnya terdorong oleh sesuatu yang keras.
Marisa spontan menegakkan kepalanya. Rupanya ia mendorong meja kopinya terlalu jauh hingga menabrak kaki sergio yang sedang sibuk merekam gambar sunset dari balkon.
“Ouuchhh… maafkan aku sayang… apa kau baik-baik saja?”
Marissa bangkit dari duduk sambil menjilati jarinya yang penuh remah keripik kentang.
“Demi Tuhan Marissa… kau… bisakah kau tau betapa pentingnya pekerjaan ini untukku… kau benar-benar menyedihkan…” sergio bereriak keras. Hatinya kesal bukan main.
Marissa melongo, ia tidak pernah melihat Sergio semarah ini. Paling hanya kesal. Ini project pertamanya setelah berbulan-bulan dia jobless. Wajar jika dia marah.
“Sergio, sayang… maafkan aku… aku tidak sengaja…. apa yang bisa kulakukan untuk membantumu?”
Sergio diam saja. Ia malah membereskan perangkatnya. Lalu dengan kesal berucap
“pekerjaanku videografi berseni tinggi. Kalau seleramu hanya sebatas opera sabun, selamanya kau tak akan pernah mengerti.”
Sergio memasukkan perlengkapannya ke dalam tas lalu menyandangnya dan pergi. Marissa masih tebengong-bengong. Begitu menyedihkannya kah dirinya? Pekerjaannya sebagai dokter cukup baik… apa salahnya jika sekarang ia menikmati hidup dengan seharian menonton opera sabun?
Sergio menatap pantai dengan hampa. Senja yang indah itu. Bagaimana ia merekamnya hingga menjadi video yang indah. Video tentang indahnya senja di pantai di kota mereka… Senja yang membuat hati siapapun bahagia saat menikmatinya.
Ia mencoba mengarahkan beberapa angle. Tapi tetap saja kosong. Mati. Hingga matahari berjalan menjauhinya, tenggelam di cakrawala, dan malam pun tiba.
Sergio mendesah kesal. Ia merasa sedikit kelewatan pada Marissa. Tapi kekasihnya benar-benar membuatnya marah. Ia benci opera sabun. Tontonan itu membuat orang yang menontonnya tampak bodoh.
Apartemennya sudah gelap saat ia kembali. Kemana Marissa? Mungkinkah dia tersinggung dan pergi?
Sepucuk pesan di lemari es menjawabnya.
“kalau suasana hatimu sudah baik, kau tahu dimana mencariku… hmmm, senjamu kurang indah ya? Seuatu itu indah atau tidak, akan membahagiakan jika kau bagi bersama orang yang kau sayangi… Love –M_”
Tepuk tangan membahana di ruang meeting kecil itu. Lalu dilanjutkan dengan jabat tangan yang hangat.
“selamat Sergio, video ini pas sekali… aku dan kita semua sangat menyukainya…”
Sergio tersenyum simpul. Ia mematikan laptopnya. Hatinya lega luar biasa ketika departemen pariwisata kota mereka menerima konsep video yang dibuatnya untuk iklan. Bukan bayangan jumlah uang saja. Namun sergio merasa bangga saat orang begitu menyukai karyanya.
“terima kasih. Saya dibantu kekasih saya menyelesaikan ini… saya bahagia karena anda semua menyukainya.”
Marissa… ternyata dia sumber inspirasi luar biasa. Ia ingat, hari itu sudah tiga hari mereka tidak saling menyapa. Sergio menemuinya di klinik, Marissa sedang melamun memainkan bandul magnet tanpa tujuan.
“haiii…” sapa sergio,
Marissa menengadah.
“sergio?”
Sergio mengangguk…
“Maafkan aku… aku sedikit kelewatan tempo hari. Ehm… apakah kau sibuk?”
Marissa mengangkat bahunya. Sergio tersenyum. Ia mengeluarkan sekantong keripik dari balik punggungnya.
“Mau menghabiskannya bersamaku?”
Senyum marissa merekah. Ia mengangguk.
“Tapi kejutanku bukan ini dokter cantik… kita akan nonton sesuatu yang spektakuler. Aku baru saja membaca review opera sabun di majalah…”
Marisa mengerutkan alisnya. Namun sergio tidak menjawab, melainkan menarik tangan marissa hingga mengikutinya.
Debur ombak di pantai begitu tenang. Sunset menyorot hangat… angin berhembus perlahan. Sebuah sofa usang diletakkan begitu saja di tepian. Televisi dan meja kopi.
“selamat datang, film utama akan segera diputar… silahkan duduk”
Marissa tergelak. Ia menurut saja… lalu sergio mulai mengutak-atik kameranya di belakang.
“sempurna”
Ia duduk di sebelah marissa dan melingkarkan lengannya.
“kau menunton juga?”
Sergio mengangguk.
“kau tahu apa yang digemari selain sunset disini?”
Marissa menggeleng. Sergio tersenyum sambil mengunyah keripik.
“Mereka suka opera sabun… dan keripik”
Marissa menatap kekasihnya. Sergio pun membalasnya. Lalu mereka tergelak bersama. Benar-benar cara yang sempurna untuk menghabiskan senja.
Cerpen Karangan: Rara Rahman