expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>
Free counters!

Translate

Selasa, 24 Februari 2015

Maaf ini Jalanku Bu (Cerpen Agama)

Sepulang kuliah, sore itu seperti biasa aku tak langsung pulang ke rumah dan main ke kos kawanku hisam namanya. Kamar kos berukuran 3×4 berisikan tv dan almari itu selalu bisa membuat ku sejenak melepas penat. Hisam sekali pun juga tak pernah merasa berat untuk aku menumpang di kos nya walau hanya sekedar lihat tv, tiduran, bahkan tak jarang aku menginap semalam di tempatnya.
Entah apa yang ada di pikiranku selalu serasa berat tangan ini untuk ku tancapkan gas sepeda motorku lalu pulang.
“Mungkin canggung apa yang dirasakan hisam, sampai sampai tak ada sepatah kalimat tanya yang dia lontarkan pada ku, kenapa aku demikian” gumam hatiku. Sehingga apa yang aku rasakan sebenarnya, tak ada yang tahu. Kawan kawan ku pun mungkin tak merasakan beban yang kini aku sangga termasuk hisam. Dan memang, semua sudah ku kemas seolah olah memang tak ada apa apa.
Kutaruh tas kuliahku di sebelah tv, lalu ku rebahkan sejenak tubuhku sambil mainan HP. Kulihat hisam sedang asik nonton tv dengan menghisap sebatang rok*knya, iri aku melihat dia yang seakan akan tak ada beban yang dia rasakan dalam hidupnya. Tapi siapa yang tahu hati orang, walapun kadang apa yang orang tampilkan itu sebenarnya jauh berbeda dengan apa yang ia rasakan. Seperti apa yang aku sangka saat ini.
“Blo..!!!” sontak suara hisam membangunkan aku dari lamunan. “Kenapa oe kok ngelamun?”
“Gak papa sam” jawabku. Segera aku bangun dan kusandarkan tubuhku di dinding. “emmm… sebenaranya gini, sudah enam bulan ini sebenarnya aku ada masalah keluarga sam terutama pada ibu ku, kamu tahu sendiri kan, beliau adalah seorang non muslim”
“Bentar bentar blo” sela hisam dengan sembari mematikan seputung rok*knya ke asbak. Dan kini dengan mimik muka yang serius hisam menatapku.
Lanjut aku cerita “iya sam aku selama ini sebenaranya ada masalah sama ibu. Akhir akhir ini kamu tahu? aku sering kena marah oleh beliau, apa yang aku kerjakan di rumah seperti tak ada yang benar, dan juga tak pernah dikasih uang jajan sama beliau sam. Tapi yang jadi beban pikiran ku bukan itu masalahnya”.
Hisam bingung apa maksud dari ceritaku, dengan mimik dan tatapan yang masih serius.
“udah beberapa bulan ini aku sering nolak ajak nya untuk pergi ke gereja”.
“yahhh… memang kamu ni gak pernah sembahyang ya? Orang diajak ke geraja buat sembahyang kok gak mau, Ya iya jelas marah lah. Ibu mu aja pergi ke gereja kok kamu nggak” jawab hisam dengan santai
Dengan hati yang mantab akhirnya aku ceritakan semuanya ke hisam. “aku masuk islam sam… aku uda diam diam juga belajar sholat, lewat ustadz di mushola sebelah rumahku aku meminta untuk dituntunnya mengucap kalimat sahadat. Dan sebenarnya, sejak dari SMA aku uda mulai ragu sama keyakinan ku ini.”
“terus ibu kamu?” hisam kembali bertanya dan agak terkejut.
“Kemarin aku udah bilang sam sama ibu. kalo aku udah mulai belajar sholat dan memulai semua hal baru yang belum pernah beliau lakukan, tapi apa kata beliau sungguh menusuk hati ku sam. Ibu yang selama ini aku hormati, aku sayang kemarin tega berkata kasar pada ku sampai sampai beliau tega tak menganggapku seorang anak nya lagi kalo aku tetap berkeyakinan beda sama beliau. Sedih rasanya sam, dulu yang sewaktu kecil aku selalu dimanjanya, dibangga banggakannya uda berani menentang. Sempat terlihat tetesan air mata olehku yang membuat aku iba jadinya. Sungguh terjadi gejolak yang amat hebat di dalam hati ini. Tapi bukan itu maksud ku, bukan maksud aku ingin membuatnya mengeluarkan tetesan air mata, bukan pula niatku untuk menentangnya, aku juga bingung sam, seandainya saja aku terlahir seperti kamu sungguh betapa bersyukurnya aku. Tapi ya sudahlah Tuhan mungkin sudah memperhitungkan semuanya.” Suasana tiba tiba hening.
Hingga pada akhir sore itu aku tumpahkan apa yang sebenarnya bergejolak pada jiwa ku selama ini pada hisam. Terkejut hisam saat dia mendengar bahwa apa yang dia tahu tentang aku itu tak pernah terpikir olehnya, dan kini dia sudah tahu kalo aku sekarang adalah seorang Muallaf, “iya aku sekarang adalah muallaf” tegas dalam hati ku.
Ibu yang selalu aku sayang dan selalu aku tunggu pelukan hangat darinya tak ubah hanyalah harapan seorang anak yang merindukan bulan. Maaf ibu bukan aku tak patuh pada mu dan bukan pula aku berniat durhaka padamu, ini jalanku.
Cerpen Karangan: Nurida Bramana