Orang-orang pasti bahagia ketika mengetahui dirinya dicintai. Tapi bukan untuk Zanto si pemilik tubuh kering yang ringkih, yang senantiasa mencuarkan peluh di tengah hiruk pikuk kota untuk mencari sesuap penyumpal lambung, mata merah terkena debu lalu lalang mesin-mesin truk, bus dan mobil pejabat hebat, konglomerat, sampai perampok berdasi sekalipun, kulit dekil yang dihiasi ornamen daki
tak karuan, ditambal dengan busana rombeng yang menawan untuk lalapan rayap atau tikus jembatan.
Sejak peristiwa hantaman gelombang di tepian Aceh saat itu, Ia sudah terlanjur amnesia dengan kata cinta apalagi kasih sayang mesra orangtua dan keluarga. Baginya, hidup sebagai gelandangan harus dijalani apa adanya dan jangan melupakan kesyukuran atas segala sistem kerja bioelektrik sel tubuh yang masih aktif, sampai detik pada masa ia masih sangggup menghirup udara malam pertama bulan pengharapan cinta Ilahi, Bulan Suci Ramadhan.
“Diri boleh hina di hadapan manusia asal mulia di tepian Tuhannya”, dentingan nyaring menjahili keheningan yang diekori gelak tawa cekikikan koleganya.
“Benar Din, Nto berkoalisi dengan lu kali ne, biar kite-kite ne cuma gelandangan dengan profesi penyemir sepatu, yang penting tetap ganteng dan kinclong abis dipandang Sang Maha Mulia”. Tepis Zanto tegas menjastifikasi argumen Dino sambil membuka-buka catatan kultum yang ia dapatkan di Mesjid Baitul Jannah pada malam pertama bulan puasa tadi.
“Eh, Eh pak Ustad Zanto lagi praktek main peran buat audisi KCB 3 yeah?” kelakar Zapin turut merayakan ledekan untuk ucapan sahabatnya.
“Duh Zapintut, Kang Abik kagak ada nulis KCB 3 yang ada ntuh Cinta Suci Zahrana, Dalam Mihrab Cinta, trus yang lain-lain pokoknya ada cintanyalah”. Bantah Dino tak mau kalah
“Benar Din, Nto berkoalisi dengan lu kali ne, biar kite-kite ne cuma gelandangan dengan profesi penyemir sepatu, yang penting tetap ganteng dan kinclong abis dipandang Sang Maha Mulia”. Tepis Zanto tegas menjastifikasi argumen Dino sambil membuka-buka catatan kultum yang ia dapatkan di Mesjid Baitul Jannah pada malam pertama bulan puasa tadi.
“Eh, Eh pak Ustad Zanto lagi praktek main peran buat audisi KCB 3 yeah?” kelakar Zapin turut merayakan ledekan untuk ucapan sahabatnya.
“Duh Zapintut, Kang Abik kagak ada nulis KCB 3 yang ada ntuh Cinta Suci Zahrana, Dalam Mihrab Cinta, trus yang lain-lain pokoknya ada cintanyalah”. Bantah Dino tak mau kalah
Malam itu langit tak mau kalah terbahak gelak menyaksikan drama sengit gelandangan dengan memuntahkan petir-petirnya yang ganas. Hujan riuh bertepuk ambai dengan pukulan-pukulan airnya ke kulit bumi. Dan kisah cerita mereka berakhir dengan diselimuti kelam langit tak berbintang. Di atas permadani kardus dan selubung koran-koran sebagai penghangat tubuh. Di depan teras pertokoan, malaikat kudus berkunjung untuk menjadikan tidur mereka sebagai ibadah, helaan nafasnya terhitung tasbih, dan cucuran maghfiroh yang parah sebab langkah yang mereka tapaki ke jalan-jalan cahaya sebelumnya di hari ini.
—
Lidah matahari menjilat-jilat kulit penghuni bumi yang beretebaran. Namun, pandangan Zanto masih bergelantungan erat pada deretan sajadah yang terhampar di dalam kaca toko Multazam itu. Hampir setiap hari Ia menyempatkan untuk mematungkan diri di depan toko sekedar mengisi harapan untuk memilikinya. Zanto berbeda dengan dua rekannya, Ia anak sholeh yang taat dalam menjalankan pilar-pilar agama termasuk salat. Sebenarnya, Ia tergolong anak yang belum baligh karena usianya masih terhitung 10 tahun. Ada bongkah keistimewaan yang menancap pada diri Zanto, dalam waktu 11 hari tempo Ramadhan berlalu Ia telah menghafal 9 jus al-Qur’an. Tentu hasrat memiliki sajadah dan tekad menghafal al-Qur’an berkorelasi satu dengan lainnya. Sajadah yang dimaksud adalah sajadah yang berukiran tiga mahkota di sudut atasnya, pesonanya memang indah berwarna putih bersih yang menenangkan qalbu dalam persemedian dengan Tuhannya. Mahkota itu adalah impian yang Zanto dambakan, mahkota kemuliaan yang akan Ia miliki beserta kedua orangtuanya di syurga kelak karena hafalan al-Qur’annya di dunia. Lagi pula selama 6 tahun terdampar di tengah kota metropolitan ini, Ia memang tidak pernah memiliki sajadah.
“Duarrrrr!!!”
“Astaghfirullah lu pin, ngagetin aja”.
“Elu sih, minggu belakangan ne hobi banget nongkrong di sini, banyak kerjaan tuh, ntar gak bisa beli baju baru buat lebaran loh, mau lu pake baju tengik ginian? kerja gih sana”.
“Malas ah, lagi pula hari ini udah dapat 18 ribu kok, 5000 buat ditabung, 5000 disedekahin, trus 8000 buat beli makanan buka puasa ntar. Cukup kan, sekarang waktu gue buat bersenang-senang dengan al-Qur”an lagi. Gak harus baju baru kok buat lebaran yang penting bersih jiwa dan raga”.
“Ah, payah lu… cari duit tu gak perlu dipatokin, cari sebanyak-banyaknya. Apalagi disedekahin, orang melarat kayak kite neh butuh sedekah bukan bersedekah”.
“Buat apa uang yang banyak? lu juga gak puasa, tarawih paling cuma numpang tidur, buat beli baju?, Mhhhh terserah lu deh, yang penting gue udah kasih tahu kalo puasa itu wajib dan dosa ditingggalin, sedekah itu pahala dan diberi ganjaran 100 kali lipat di bulan ne”.
“Eh siapa bilang gue gak puasa, udah dua hari ne gue puasa seperempat hari kok”.
“Zapin, Zapin…”
“Trus aja lu tatapin tu sajadah sampai mata lu keluar gak bakal dapat kecuali dengan lu maling tu toko. Hehehe, dah Zanto…”
“Astaghfirullah lu pin, ngagetin aja”.
“Elu sih, minggu belakangan ne hobi banget nongkrong di sini, banyak kerjaan tuh, ntar gak bisa beli baju baru buat lebaran loh, mau lu pake baju tengik ginian? kerja gih sana”.
“Malas ah, lagi pula hari ini udah dapat 18 ribu kok, 5000 buat ditabung, 5000 disedekahin, trus 8000 buat beli makanan buka puasa ntar. Cukup kan, sekarang waktu gue buat bersenang-senang dengan al-Qur”an lagi. Gak harus baju baru kok buat lebaran yang penting bersih jiwa dan raga”.
“Ah, payah lu… cari duit tu gak perlu dipatokin, cari sebanyak-banyaknya. Apalagi disedekahin, orang melarat kayak kite neh butuh sedekah bukan bersedekah”.
“Buat apa uang yang banyak? lu juga gak puasa, tarawih paling cuma numpang tidur, buat beli baju?, Mhhhh terserah lu deh, yang penting gue udah kasih tahu kalo puasa itu wajib dan dosa ditingggalin, sedekah itu pahala dan diberi ganjaran 100 kali lipat di bulan ne”.
“Eh siapa bilang gue gak puasa, udah dua hari ne gue puasa seperempat hari kok”.
“Zapin, Zapin…”
“Trus aja lu tatapin tu sajadah sampai mata lu keluar gak bakal dapat kecuali dengan lu maling tu toko. Hehehe, dah Zanto…”
Radiasi kesholehan Zanto memang sulit tertransmisi pada kedua teman karibnya, mereka ibarat quark inti atom yang diikat energi persahabat namun akan saling menjauh jika didekatkan dalam hal ibadah.
Seperti hari-hari sebelumnya di bulan Ramadhan, setelah mendapatkan uang 18 ribu Zanto akan ber-taqarrub bersama Tuhan yang satu-satu Dzat mencintainya, dengan menghafal al-Qur’an dan ritual dzikir yang kerap menguras air matanya sampai tiba beduk kemenangan, berbuka puasa tiba.
—
Malam dipenuhi bintang gemintang, malaikat memenuhi jagad kota mendistribusi rahmat bagi hamba-hamba pilihan. Langit bening tak tersaput awan. Gema takbir memenuhi jalan. Kegembiraan menyelubungi hingga pori sum-sum tulang. Beduk digebuk bertalu-talu, dalam frekuensi seni yang merenyuhkan batin fitri. Detik kemenangan. Semua orang berlomba menggemakan nama besar Tuhan. Seluruh muka mengekspresikan kebahagiaan.
Namun sayang seribu kali sayang, ketika malam ini ruang alam, di istana, di jalanan dan seluruh bumi buncah oleh suka cita. Lihatlah kesedihan yang mendifraksi di mata Zanto. Ia harus bersama sahabatnya, Dino, di rumah sakit akibat tusukan belati sore tadi di pelataran toko baju. Tragedi pencopetan beralih menjadi perang senjata akibat perlawan dino yang bengis agar mendapatkan uangnya kembali untuk membeli pakaian lebaran. Satu buliran air akhirnya merekah, menggelayut di pelupuk mata Dino yang menanggung sakitnya bekas luka tusukan di pinggangnya. Bukan itu saja, sakit itu sejatinya bersumber dari ulu jiwa yang merana melihat Zanto dan Zapin harus mengorbankan diri dan uang tabungannya terpaksa dipakai untuk menebus pengobatannya di rumah sakit. Pelan kristal air itu bergulir menggelinding lalu mengarus deras di parit pipinya.
Namun sayang seribu kali sayang, ketika malam ini ruang alam, di istana, di jalanan dan seluruh bumi buncah oleh suka cita. Lihatlah kesedihan yang mendifraksi di mata Zanto. Ia harus bersama sahabatnya, Dino, di rumah sakit akibat tusukan belati sore tadi di pelataran toko baju. Tragedi pencopetan beralih menjadi perang senjata akibat perlawan dino yang bengis agar mendapatkan uangnya kembali untuk membeli pakaian lebaran. Satu buliran air akhirnya merekah, menggelayut di pelupuk mata Dino yang menanggung sakitnya bekas luka tusukan di pinggangnya. Bukan itu saja, sakit itu sejatinya bersumber dari ulu jiwa yang merana melihat Zanto dan Zapin harus mengorbankan diri dan uang tabungannya terpaksa dipakai untuk menebus pengobatannya di rumah sakit. Pelan kristal air itu bergulir menggelinding lalu mengarus deras di parit pipinya.
“Din, sa-ki-t ba-nge-t ya?”. kata Zapin tersengal
“Luka ini tak seberapa, lebih sakit melihat kalian harus bertengger disini, seharusnya kalian tidak perlu membawa gue ke rumah sakit, biarin aja gue mati sekalian. Zanto kehilangan sajadah impiannya, lo gak bakalan lagi bisa punya sepatu Dahlan yang sudah lama lu incar. Semua karena gue”.
“Gak Din, ini memang sudah harus terjadi atas kehendak Allah. Nasihat Zapin meneduhkan suasana hati temannya yang tengah terbaring di atas dipan bangsal rumah sakit”.
“Mana Zanto?”
“Sedang ngurus administrasi rumah sakit dengan seorang Bapak paruh usia yang tadi membawa kita ke rumah sakit”.
Langit Indah terusir sudah. Digantikan gemuruh duka yang menderu-deru. Semuanya amat mendadak. Datang begitu saja sesesuai titah Tuhan Yang Maha Berkehendak. Tidak ada lagi pakaian lebaran, sepatu Dahlan, dan sajadah mahkota rupawan telah tandas di musnahkan badai ujian yang kelak menuai hikmah terduga.
“Luka ini tak seberapa, lebih sakit melihat kalian harus bertengger disini, seharusnya kalian tidak perlu membawa gue ke rumah sakit, biarin aja gue mati sekalian. Zanto kehilangan sajadah impiannya, lo gak bakalan lagi bisa punya sepatu Dahlan yang sudah lama lu incar. Semua karena gue”.
“Gak Din, ini memang sudah harus terjadi atas kehendak Allah. Nasihat Zapin meneduhkan suasana hati temannya yang tengah terbaring di atas dipan bangsal rumah sakit”.
“Mana Zanto?”
“Sedang ngurus administrasi rumah sakit dengan seorang Bapak paruh usia yang tadi membawa kita ke rumah sakit”.
Langit Indah terusir sudah. Digantikan gemuruh duka yang menderu-deru. Semuanya amat mendadak. Datang begitu saja sesesuai titah Tuhan Yang Maha Berkehendak. Tidak ada lagi pakaian lebaran, sepatu Dahlan, dan sajadah mahkota rupawan telah tandas di musnahkan badai ujian yang kelak menuai hikmah terduga.
—
Dengan tidak tahu, maka mereka yang menyadari kalau tidak ada yang sia-sia dalam kehidupan akan selalu berbuat baik. Pagi Idul fitri yang disambut senyum sumringah mentari sembari menatap sendu Dino yang terbaring dan ditemani oleh karib setianya, Zapin. Dimana Muhammad Zanto Azhim?. Usai menunaikan salat ‘id, Ia pun menjemput sajadah syurganya di alam barzakh. Sangat mengejutkan, seantaro jama’ah mesjid Baitul Jannah digemparkan oleh kematian seorang anak yang meninggal tepat dalam sujud terakhir salat. Allah telah membeli tabungan Zanto dengan bentangan sajadah syurga yang tak terlukiskan indahnya. Tempat dimana Ia dapat bermesraan dengan Allah selamanya di makam yang penuh kenikmatan. Kelak hadiah mahkota yang dijanjikan pun ditunaikan dengan hafalan 30 jus al-Qur’an yang tuntas dilahapnya dalam Bulan Ramadhan ini, orangtuanya yang bermahkota cahaya itu juga akan menyambut pula dengan cinta dan semesta kasih sayang yang tak pernah dirasakannya di dunia. Kelelahan di dunianya yang semomen saja, lalu sekarang Zanto dapat istirahat panjang dengan kepuasan tak tertahankan bersama sajadah syurga impian dan mahkota cahaya kemuliaan Allah swt.
Lalu bagaimana denga kedua sahabatnya itu?, selanjutnya mereka tidak akan lagi menjadi gelandangan. Pak Cahyadi, seorang pemilik Pesantern Tahfidz Quran, yang membawa Dino ke rumah sakit menawarkan mereka untuk menjadi santri tanpa biaya sepersenpun. Inilah balasan Allah bagi hamba yang dipilihnya. Sesuai firman-Nya.
“Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?, dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu, (Q.S asy-Syarh: 1-2). Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?, Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. (Q.s adh-Dhuha: 6-8). Maka nikmat Tuhan mu yang manakah yang kamu dustakan?”
“Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?, dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu, (Q.S asy-Syarh: 1-2). Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?, Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. (Q.s adh-Dhuha: 6-8). Maka nikmat Tuhan mu yang manakah yang kamu dustakan?”
END
Cerpen Karangan: Sulastriya Ningsi